Senin, 26 November 2007

4 (Empat) Perspektif pada Balanced Scorecard

4 (Empat) Perspektif pada Balanced Scorecard

Banyak metoda untuk mengukur keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi. Beberapa tahun kebelakang ukuran keberhasilan itu kebanyakan dinilai dari financial performance dan atau market share saja, walaupun sekarang juga masih banyak yang mengunakan ukuran tersebut.

Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini banyak pelaku di bisnis ini lebih mengutamakan kepada pertumbuhan (growth) dibandingkan dengan financial. Kita ketahui bahwa bisnis TIK memerlukan comunity yang menggunakan produknya (hardware/software/services/others) dan belum tentu comunity tadi membayar untuk produk tersebut secara langsung. Keuntungan akan didapat setelah comunity terbentuk menjadi loyal comunity.

Di era TIK ini, banyak pelaku bisnis yang menggunakan Balanced Scorecard dengan hasil yang sangat menakjubkan. Pendekatan yang dilakukan pada Balanced Scorecard menghubungkan strategi yang ada dalam suatu organisasi/perusahaan, mulai dari visi, critical success factor(dalam hal ini saya analogikan pada rencana strategi), dan pengukuran performansi keberhasilan. Pengukuran dalam Balanced Scorecard dibagi kedalam empat perspektif : Customer, Internal Business, Innovation and Learning, dan Financial Perspective.

Perspektif pelanggan menggunakan ukuran berapa “nilai” yang diberikan kepada pelanggan dilihat dari segi waktu, kualitas, performansi dan layanan, dan biaya. Contohnya ukuran kecepatan waktu mulai dari permintaan sampai dengan pengiriman sampai ditangan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk kita, tingkat penjualan terhadap produk baru, dan atau banyaknya service call yang dilayani.

Pada perspektif internal dapat mengevaluasi ekspektasi yang diharapkan pelanggan dapat terpenuhi melalui perbaikan proses di internal organisasi tersebut. Disini juga kita dapat mengukur tingkat keahlian dan produktifitas karyawan, kualitas yang dihasilkan oleh organisasi tersebut, dan atau sistem informasi yang baik yang berjalan dalam organisasi.

Dari sisi perspektif inovasi dan pembelajaran dari suatu organisasi kita dapat mengukurnya melalui, peningkatan dan inovasi yang berkelanjutan terhadap produk-produk yang dimiliki. Kita harus garis bawahi bahwa produk disini tidak selamanya berupa barang, pelayanan dan hal-hal lain yang bersifat jasa pun adalah produk. Ukuran yang diberikan antara lain banyaknya produk-produk baru yang dihasilkan dan persentase kebrhasilan penjualannya, tingkat penestrasi terhadap market baru, atau implementasi SCM (supply Chain Management), dll.

Apabila target-target diatas dapat terpenuhi maka efeknya akan mengimbas pada perspektif finansial juga. Finansial disini termasuk mengukur pendapatan dan pengeluaran, lebih dalamnya lagi ROI (return on investment), tingkat penjualan, pertumbuhan market share, dll.

Hal terpenting yang harus kita pahami adalah bagaimana suatu organisasi mendefinisikan apa yang ingin dicapai serta membuat ukurannya yang selanjutnya terus memonitor progres yang telah dicapai. Selanjutnya kita bisa melihat apakah tujuan kita akan tercapai atau tidak.

Balanced Scorecard diukur dalam jangka pendek dan jangka panjang dan di evaluasi setiap bagian yang ada dalam suatu organisasi yang akan memberikan kontribusi untuk mewujudkan setiap tujuan. Balanced Scorecard dapat diterapkan oleh semua jenis organisasi dan semua jenis industri baik profit maupun non-profit.

Minggu, 25 November 2007

Memaknai Kerja

Selasa, 20-November-2007; 08:39:15 WIB
Memaknai Kerja
Oleh : Andrias Harefa "WTS" (Writer, Trainer, Speaker), motivator dan penulis 30 buku laris

Apa arti kerja bagi Anda?" tanya saya kepada sejumlah kawan.
"Aktivitas untuk memperoleh nafkah hidup," jawab Didi yang pengusaha.
"Kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau hasil," ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
"Tugas-tugas yang harus ditunaikan," kata Wawan yang tentara.
"Mengembangkan potensi diri, memenuhi panggilan batin, mencari nafkah sekaligus memberi makna pada hidup melalui karya-karya kita," urai Bagong yang pegawai.

***
Di sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa cara pandang atau peta yang kita pergunakan untuk memberi makna pada pekerjaan, akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam bekerja.

Seorang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting, bernilai, bahkan mulia, misalnya, akan menunjukkan sikap kerja yang berbeda dengan mereka yang memaknai pekerjaannya sebagai hal yang tidak penting, tak bernilai, bahkan hina. Orang-orang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang pantas dibanggakan akan menunjukkan perilaku kerja yang berbeda dengan orang-orang yang merasa malu dengan pekerjaan mereka. Masalahnya bukan pada "apa yang dikerjakan", tetapi pada bagaimana mereka memaknai pekerjaan tersebut.

Seperti seorang kawan bernama Anton yang memaknai pekerjaannya hanya sebagai pekerjaan untuk nafkah hidup semata. Statusnya sebagai wiraniaga di perusahaan asuransi terkemuka negeri ini, sebenarnya cukup bisa dibanggakan. Namun, ia sedikit sekali menaruh minat atas apa yang dikerjakannya dan tak menyukai sifat pekerjaannya yang memberikan banyak tantangan. Hanya karena merasa wajib bekerja agar mendapatkan penghasilan, maka Anton bertahan di tempat kerjanya itu. Akibatnya, Anton sangat sensitif terhadap soal jumlah komisi yang diperolehnya. Jika komisinya berkurang sedikit saja dari biasanya, atau ia mendapatkan informasi ada komisi yang sedikit lebih tinggi di perusahaan asuransi lain, maka ia langsung ingin cepat-cepat pindah kerja. Kalau ada kesempatan kerja di luar industri asuransi pun, sepanjang hal itu memberikan penghasilan lebih besar, Anton akan segera merasa tertarik. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi Anton adalah tanggal pembayaran komisi/gajian. Selebihnya adalah kewajiban yang harus dilakukan.

Berbeda dengan Anton, kawan bernama Tommy memaknai pekerjaannya sebagai karier. Ia ingin ada peningkatan karier dari waktu ke waktu. Artinya, ia tidak melihat uang atau gaji sebagai satu-satunya faktor penentu kepuasan kerjanya. Ia juga memperhitungkan soal-soal lain, terutama soal kekuasaan/jabatan, status sosial, dan gengsi. Walau gajinya sebagai kepala bidang operasional sebuah bank nasional yang sudah mapan hanya rata-rata industri saja, namun ia tetap bersemangat karena merasa ada prospek karier untuk menjadi kepala cabang di tahun-tahun mendatang. Lagi pula, ia sudah mulai mendapatkan fasilitas pinjaman untuk membeli mobil idamannya, sesuatu yang menaikkan gengsinya di lingkungan kerabat dan tempat pemukimannya. Bagi Tommy, ia akan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan baru, bila kariernya sudah mentok tak kemana-mana.

Lain lagi halnya dengan Titin yang bekerja sebagai penulis lepas. Ia memaknai pekerjaannya sebagai panggilan batin. Ia mencintai pekerjaannya, dan antara pekerjaan dengan irama kehidupannya sehari-hari tak terlalu banyak bedanya. Sebagai ibu dari dua anak remaja yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, Titin terkadang ikhlas tak mendapatkan imbalan material apapun dari karya tulisnya yang dipublikasikan pihak lain untuk tujuan sosial. Ia merasa memang itulah tugasnya. Ia merasa ada kemuliaan dari apa yang dikerjakannya. Dan ia juga sangat menikmati kebebasan waktu kerjanya yang menurutnya "tak ternilai harganya". Sebab, sebagai penulis lepas ia bisa mengatur sendiri waktu untuk mengurus anak-anak dan mencari nafkah. Ia juga tidak harus terikat pada lokasi kerja seperti kantor, karena bisa bekerja dimana saja berkat laptop sederhana miliknya. Karenanya, walau penghasilan Titin tak berlebihan, ia tak pernah berpikir untuk berganti pekerjaan.

Baik Anton, Tommy, maupun Titin, adalah wajah dari orang-orang di sekitar kita.

Orang-orang seperti Anton selalu mengutamakan gaji, komisi, uang. Status sosial, gengsi, jabatan, dan panggilan hidup urusan belakangan. Sepanjang pekerjaan mereka menghasilkan uang yang lebih banyak, mereka bersemangat dalam bekerja. Sementara orang-orang seperti Tommy masih bersedia bersabar dengan gaji yang pas-pasan, asalkan diberi jabatan formal, kekuasaan memimpin sejumlah bawahan, dan gengsi karena bekerja di perusahaan terkemuka. Dan bagi orang-orang seperti Titin, pekerjaan haruslah berkaitan dengan keyakinannya atas kontribusi hidupnya bagi keluarga, bangsa, masyarakat, atau dunia. Tak soal penghasilan pas-pasan, tanpa jabatan mentereng, tak punya kantor yang megah, dan sebagainya. Asal ada keyakinan bahwa karya-karyanya berguna bagi banyak orang, ikut mendorong proses-proses kebudayaan, membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah dan layak dihuni, cukuplah.

Anton, Tommy, dan Titin amat boleh jadi merasakan kepuasan yang berbeda atas hasil-hasil pekerjaannya. Di antara mereka juga mungkin sulit untuk saling memahami pilihan satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada "apa" yang mereka kerjakan, tetapi pada kemampuan memaknai pekerjaan itu sendiri. Artinya, bisa saja seorang buruh pabrik atau tukang angkut sampah memaknai pekerjaan sebagai amanah atau panggilan hidup yang harus ditunaikan. Ia bisa dengan ikhlas dan senang hati melakukan pekerjaannya. Dan sebaliknya, seorang eksekutif muda atau manajer senior di perusahaan terkemuka hanya menganggap pekerjaannya sebagai sarana memperoleh uang semata. Sehingga, ia sering merasa terbebani, tidak gembira dan kurang puas dengan pekerjaannya.

Sejumlah psikolog ahli yang mendalami masalah kepuasan kerja dan kepuasan hidup menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang mampu memaknai pekerjaannya sebagai hal yang berkaitan dengan panggilan hidup atau amanah yang harus ditunaikanlah yang mengalami kepuasan kerja dan kepuasan hidup paling maksimal. Mereka umumnya memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang mereka kerjakan, dan menikmati sifat-sifat dari pekerjaannya. Itu sebabnya ada kegembiraan dalam bekerja, dan motivasi mereka mengalir dari dalam batinnya. Mereka menjadi orang-orang yang tidak saja produktif dan kreatif, tetapi juga sekaligus loyal dengan tugas pekerjaannya.

Bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita pilih saat ini? Adakah pekerjaan yang kita lakukan hari-hari ini sesuai dengan minat dan potensi terbaik kita? Disamping soal uang, apakah pekerjaan kita berkesesuaian dengan panggilan hidup atau amanah dari langit yang memang perlu ditunaikan? Mampukah kita melihat kemuliaan dari pekerjaan kita? Setiap kita tentu memiliki jawabannya masing-masing. Yang jelas, bila kita ingin meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan hidup, maka hal terpenting yang mungkin perlu kita periksa adalah bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari.

Memberi makna pada pekerjaan, itulah hal yang tak bisa dilakukan oleh mesin-mesin canggih dewasa ini. Memberi makna pada pekerjaan juga tak mampu dilakukan oleh kambing, kucing, dan anjing. Sebab kemampuan memberi makna, adalah kemampuan khas yang dianugerahkan Sang Pencipta hanya kepada manusia ciptaan-Nya. Dan dengan bekal kemampuan memaknai ini pula manusia di mungkinkan untuk mengenal konsep kebahagiaan dalam hidupnya. Apakah kemampuan ini kita kembangkan dengan gegap gempita, atau terbengkalai begitu saja sehingga kita sering merasa terlunta kehilangan arah?

Andrias Harefa "WTS" (Writer, Trainer, Speaker) siap membagikan kiat-kiatnya dalam memotivasi diri, memotivasi tim, merekonstruksi pola kepemimpinan Anda dengan beberapa topik seminar yang dapat Anda sesuaikan dengan kebutuhan SDM di perusahaan Anda seperti: Adversity Quotient for Better Performance; Unbreakble Mentality; 4/14-Leadership; 7 Powerful Ways To Motivate Yourself, dll.

Rabu, 21 November 2007

AYAHKU TUKANG BATU

AYAHKU TUKANG BATU
Action & Wisdom Motivation Training
“Wo ba ba shi jian zhu gong ren”

Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang putri yang menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor besar di kota itu. Sayang, sang putri merasa malu dengan ayahnya. Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya, dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang tidak jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di perusahaan kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab bekerja sebagai apa.
Si putri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak semata wayangnya, sang ayah bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis. Si putri lebih banyak menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. "Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.

Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri mengikuti kehendak ayahnya.

Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah berkata, "Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin, dan jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah karena ayah salah satu orang yang ikut membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di mana ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa bekerja dengan baik hingga hari ini."

Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana. Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun melanjutkan penuturannya, "Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."

Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, "Maafkan putri, Yah. Putri salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah." Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.

Pembaca yang budiman,
Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya. Entah itu masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan identitas dan keadaan yang dipalsukan.

Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.

Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu, jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan integritas sebagai manusia.

Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!

Salam Sukses Luar Biasa!!!!
Andrie Wongso

Jangan Terima "Rasa Sayange" Jadi Milik Bersama

Jangan Terima "Rasa Sayange" Jadi Milik Bersama

MEDAN, RABU - Antropolog Prof Dr Hj Chalida Fahruddin meminta pemerintah Indonesia tidak menerima begitu saja lagu "Rasa Sayange" menjadi milik bersama bangsa melayu Indonesia-Malaysia.

"Penyelesaian masalah itu harus dibicarakan pada forum bersama yang resmi antara pemerintah Indonesia dengan negara jiran itu," katanya di Medan, Rabu (14/11), ketika menanggapi pernyataan pihak pejabat resmi Malaysia yang mengatakan lagu tersebut milik bersama kedua negara.

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara itu, peryataan pejabat negara tetanggga yang mengklaim lagu "Rasa Sayange" milik bersama itu harus diprotes oleh pemerintah Indonesia.

"Apa dasarnya pemerintah Malaysia yang menyebutkan lagu ciptaan seniman Indonesia itu sebagai milik bersama. Pernyataan tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, jangan seenaknya negara itu mencatut lagu dan menjadikannya milik bersama," tegasnya.

Chalida menjelaskan, bila kasus lagu "Rasa Sayange" tidak dapat diselesaikan dengan baik, dikhawatirkan lagu-lagu daerah lain juga akan mengalami nasib yang sama.
Sehubungan itu, tambah Chalida, pemerintah Indonesia harus menyikapi dengan tegas. (ANTARA/IMA)

Penggunaan Teknologi Terkendala Infrastruktur, Biaya, dan Kompetensi Laporan

Mendiknas: Penggunaan Teknologi Terkendala Infrastruktur, Biaya, dan Kompetensi Laporan

Wartawan Kompas Indira Permanasari S

KUTA, KOMPAS - Perluasan akses Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terkendala infrastruktur, biaya, dan kompetensi guru. Demikian diungkapkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo saat membuka International Symposium on Open, Distance and E-Learning atau ISODEL, Rabu (14/11) di Kuta, Bali.

Oleh karenanya, program pengenalan teknologi di Indonesia dimulai di daerah perkotaan yang lebih siap. Tujuan ISODEL sendiri tidak hanya terhenti pada tahap berbagi informasi. Lewat kegiatan ini diharapkan dapat dijajaki berbagai kerjasama dengan pihal lain untuk mempercepat pembangunan TIK dalam dunia pendidikan.

Dalam acara tersebut sekitar 50 pembicara dari berbagai negara seperti Jepang, Singapura, Amerika, Malaysia, Thailand, Pakistan, dan Indonesia hadir dan berbagi informasi terkait penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam dunia pendidikan. Dalam pidato pembukaannya, Bambang Sudibyo mengatakan, pilar pendidikan ialah peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, peningkatan dan pemerataan akses serta penguatan tata kelola pendidikan. Masalah pendidikan yang menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini antara lain masalah terkait pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Terdapat kendala geografis, ekonomis serta ketidakmampuan sistem pendidikan mengakomodasi keragaman kebutuhan siswa. Untuk mengatasi itu, diantaranya, dengan memanfaatkan TIK dalam pendidikan. Bentuk-bentuk pemanfaatannya antara lain pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh dan E-learning. Di Indonesia sendiri, untuk pendidikan telah dibangun jejaring yang menghubungkan Departemen Pendidikan Nasional dengan perguruan tinggi, sekolah menengah atas dan kejuruan serta sekolah menengah pertama. Sudah ada 10.000 sekolah dan sekitar 200 perguruan tinggi yang tergabung dalam jaringan intranet Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional).

Analisis Kebutuhan Pelatihan

Analisis Kebutuhan Pelatihan

Oleh: Johanes Papu


Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya kami ajukan kepada pihak perusahaan (manajemen) atau calon klien kami ketika diminta untuk menyusun suatu program pelatihan bagi mereka adalah: mengapa pihak perusahaan merasa bahwa pelatihan merupakan jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi? Bagaimana pelatihan bisa memberikan kontribusi terhadap rencana strategic perusahaan? Siapa saja yang menjadi target pelatihan? Pelatihan apa saja yang pernah dilakukan dan apa hasilnya? Dan masih ada beberapa pertanyaan lain.

Apa yang ingin diketahui dari beberapa pertanyaan seperti tersebut diatas sebenarnya amat sederhana, yaitu ingin mengetahui sejauhmana perusahaan telah melakukan analisis kebutuhan pelatihan. Hal ini begitu penting untuk diketahui sebab tanpa analisis kebutuhan yang sungguh-sungguh maka dapat dipastikan bahwa program pelatihan yang dirancang hanya akan berlangsung sukses di ruang kelas atau tempat pelaksanaan pelatihan semata. Artinya pelaksanaan pelatihan mungkin berjalan dengan sangat baik, tetapi pada saat partisipan (peserta pelatihan) kembali ke tempat kerja masing-masing mereka menjadi tidak tahu atau bingung bagaimana menerapkan apa yang telah mereka pelajari dari pelatihan. Kondisi seperti ini tidak jarang memberikan citra yang negatif bagi pihak penyelenggara pelatihan (HRD Internal atau pun HR Consultant dari luar perusahaan) karena dinilai tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada partisipan. Oleh karena itu, perusahaan konsultan yang sungguh-sungguh peduli terhadap hasil pelatihan pasti akan sangat berhati-hati jika diminta untuk menyusun program pelatihan. Inilah salah satu penyebab mengapa banyak perusahaan konsultan SDM tidak memiliki program pelatihan yang bersifat generic (berlaku umum).
Meskipun harus diakui bahwa kegagalan partisipan untuk dapat menerapkan apa yang telah dipelajarinya selama pelatihan ke dalam pekerjaan sehari-hari dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun tak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah karena tidak adanya sinkronisasi antara pelatihan dengan kebutuhan atau masalah yang dihadapi. Dengan kata lain keputusan untuk melaksanakan pelatihan tidak didukung oleh data atau informasi yang memadai dan akurat. Data atau informasi tersebut misalnya mengapa perusahaan perlu mengadakan pelatihan, apa jenis pelatihan dan metode yang cocok, siapa peserta yang harus ikut, hal-hal apa yang harus diajarkan, dan sebagainya. Data dan informasi seperti inilah yang harus diperoleh pada tahap analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis).

Definisi

Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan.
Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standard atau yang diharapkan untuk dilakukan oleh si pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan pelatihan merupakan alat untuk mengidentifikasi gap-gap yang ada tersebut dan melakukan analisis apakah gap-gap tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan analisis kebutuhan pelatihan maka pihak penyelenggara pelatihan (HRD atau Divisi Training) dapat memperkirakan manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu pelatihan, baik bagi partisipan sebagai individu maupun bagi perusahaan.
Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:
memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan
memastikan bahwa para partisipan yang mengikuti pelatihan benar-benar orang-orang yang tepat
memastikan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen kerja yang dituntut dalam suatu jabatan tertentu
mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan
memastikan bahwa penurunan kinerja atau pun masalah yang ada adalah disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap kerja; bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan
memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana.

Beberapa Faktor

Mengingat bahwa data dan informasi yang harus dikumpulkan dan dianalisis menyangkut manusia (adanya gap antara pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang ada dengan yang diharapkan) dan organisasi/perusahaan (rencana dan tujuan perusahaan, SAP, manfaat pelatihan, dsb) maka analisis kebutuhan pelatihan seyogyanya mencakup kedua area tersebut. Oleh karena itu data yang harus dikumpulkan mencakup beberapa faktor sebagai berikut:

Alasan

Perusahaan adalah suatu sistem. Artinya di dalam perusahaan terdapat beberapa divisi atau bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Dengan adanya berbagai divisi tersebut maka kebutuhan akan pelatihan dapat berbeda-beda antara divisi yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pada tahapan ini perancang program pelatihan (baca: Training Manager/Officer yang mewakili HRD atau Divisi Training) dituntut untuk benar-benar jeli dalam melihat kebutuhan yang ada. Ia harus meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan pendapat dari berbagai pihak, mengetahui dengan pasti siapa yang berwenang memutuskan adanya pelatihan, dan apa kaitan pelatihan yang akan dirancang dengan rencana strategic perusahaan.
Dalam banyak kasus kebutuhan pelatihan mungkin diajukan atau diminta oleh manager atau supervisor dari divisi tertentu yang ada dalam perusahaan. Selain itu ada juga pelatihan yang bersifat menyeluruh, dalam arti bahwa pelatihan tersebut merupakan suatu policy dari pihak manajemen untuk mensosialisasikan visi, misi, dan tujuan perusahaan, termasuk rencana strategic yang akan dijalankan. Meski kedua hal tersebut sebenarnya telah mengindikasikan adanya kebutuhan pelatihan, namun perancang pelatihan harus dapat menggali lebih dalam lagi sejauhmana kebutuhan tersebut dapat direalisasikan. Ia harus bisa menggali informasi-informasi seperti: apakah program pelatihan serupa pernah dilaksanakan dan apa hasilnya? Apakah pelatihan tersebut benar-benar akan bermanfaat bagi divisi tertentu dan secara langsung ataupun tidak langsung akan memberikan dampak positif bagi kinerja semua divisi yang ada dalam perusahaan? Kondisi atau situasi seperti apa sebenarnya yang mendorong dilakukannya pelatihan tersebut? Lalu apa sebenarnya yang diharapkan dari pelatihan tersebut?

Peserta

Satu hal yang sangat krusial dalam suatu pelatihan adalah menentukan siapa yang menjadi peserta pelatihan tersebut. Peserta yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah mencakup partisipan dan juga trainer/facilitator dari pelatihan tersebut. Mengapa hal ini dikategorikan sebagai hal yang krusial tidak lain adalah karena peserta akan sangat menentukan format pelatihan. Selain itu para partisipan adalah individu-individu yang akan membawa apa yang diperoleh dalam pelatihan ke dalam pekerjaan mereka sehari-hari sehingga akan memiliki dampak pada perusahaan. Dengan mengetahui peserta pelatihan perancang program pelatihan dapat menentukan format yang tepat; apakah akan menggunakan format ruang kelas (classroom setting), belajar sendiri (self-study or self-journey), belajar dari pengalaman (experiential learning or learning by doing), atau menggunakan beberapa format sekaligus.
Selain itu, dengan mengetahui siapa peserta pelatihan maka perancang program pelatihan akan dapat menggali lebih jauh berbagai informasi seperti:
apa saja persyaratan minimal (pendidikan, pengalaman dan ketrampilan) yang harus dipenuhi oleh partisipan untuk dapat mengikuti pelatihan?
apa dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan yang telah dimiliki partisipan, termasuk pelatihan apa saja yang pernah diikuti sebelumnya?
apa saja persyaratan yang harus dipenuhi oleh trainer/facilitator untuk dapat menyelenggarkan pelatihan? apakah akan menggunakan trainer dari dalam perusahaan atau menggunakan trainer dari luar?
bagaimana data demography para partisipan?

Pekerjaan

Data atau informasi yang berhubungan dengan aspek pekerjaan yang harus dikumpulkan dan dianalisis mencakup hal-hal seperti: jenis pekerjaan (jabatan) apa yang sedang di review dan apa fungsi utama pekerjan (jabatan) tersebut, apa saja kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara optimal, apa standard kinerja yang harus dipenuhi oleh pegawai, apakah pegawai sudah memenuhi standard kinerja yang diharapkan, dsb. Pada intinya analisis kebutuhan pelatihan yang mencakup aspek pekerjaan bertujuan mengumpulkan informasi seputar fungsi dan tanggung jawab jabatan, tingkat kinerja yang diharapkan, dan kemampuan serta ketrampilan apa saja yang harus dimiliki oleh individu atau kelompok (divisi) untuk dapat memenuhi standard kinerja yang diharapkan. Bagi perusahaan-perusahaan yang telah memiliki uraian jabatan mungkin akan lebih mudah bagi si perancang program untuk memperoleh data. Namun bagi perusahaan yang belum memiliki uraian jabatan maka si perancang program akan membutuhkan banyak waktu untuk melakukan analisis jabatan.

Materi

Bagi perusahaan-perusahaan yang sudah terbiasa melakukan pelatihan, materi pelatihan mungkin sudah tersedia untuk berbagai jabatan. Meski demikian hal ini tidaklah berarti bahwa materi tersebut selalu cocok untuk setiap peserta dan setiap situasi. Materi pelatihan yang baik harus selalu diperbaharui sesuai dengan kondisi yang ada supaya isi (content) dari pelatihan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan si partisipan. Hal yang mendasar untuk diketahui dalam menentukan materi yang akan dirancang dalam sebuah program pelatihan adalah apakah materi yang akan diberikan merupakan suatu hal yang bersifat essential atau tidak. Jika ya, maka materi tersebut harus dimasukkan dalam pelatihan. Jika hal ini sudah ditentukan, maka selanjutnya baru dipilih topik-topik penting yang perlu diajarkan dalam pelatihan, bagaimana mengajarkannya dan hal-hal apa saja yang perlu dijelaskan lebih lanjut supaya lebih memudahkan partisipan dalam memahami materi tersebut.

Dukungan

Mengingat bahwa hal-hal yang mempengaruhi kinerja pegawai maupun perusahaan secara keseluruhan tidak hanya ditentukan oleh pelatihan, maka si perancang pelatihan harus benar-benar dapat memastikan bahwa ia mendapatkan dukungan dari berbagai pihak di dalam perusahaan. Dukungan tersebut adalah berupa komitmen dari para manager atau supervisor untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi para partisipan untuk dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam pelatihan. Suasana kondusif tersebut misalnya: menempatkan pegawai pada jabatan yang sesuai dengan kompetensinya, memberikan feedback tentang kinerja pegawai secara periodik, mendengarkan keluhan dan masalah yang dihadapi pegawai dalam menerapkan apa yang telah dipelajari, memberikan reward atau recognition bagi pegawai yang berhasil memenuhi standard kinerja yang diharapkan, menegur atau memberikan sanksi kepada pegawai yang tidak menunjukkan kinerja yang optimal, dsb.
Komitmen tersebut amat penting diperoleh mengingat bahwa pelatihan bukanlah sarana yang tepat untuk mengendalikan hal-hal yang tidak memiliki hubungan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Dengan perkataan lain pelatihan hanyalah merupakan sarana yang berguna untuk menghilangkan atau mengurangi adanya kesenjangan antara pengetahuan dan ketrampilan yang ada dengan yang diharapkan. Pelatihan tidak bisa dengan mudah dianggap sebagai sarana untuk mengurangi tingkat ketidakhadiran pegawai, mengatasi PHk atau perampingan perusahaan, meningkatkan gaji dan menciptakan motivasi kerja pegawai di lapangan. Pelatihan juga tidak akan serta merta melahirkan standard kinerja yang diharapkan jika di tempat kerja sehari-hari tidak ada kriteria penilaian tentang standard kinerja tersebut. Selain itu pelatihan tidak bisa menggantikan peran manager ataupun supervisor dalam memberikan feedback kepada bawahannya. Oleh karena itu, dalam analisis kebutuhan pelatihan si perancang program harus dapat memastikan bahwa pelatihan tidak akan disalahgunakan oleh pihak manajemen atau pun para manager/supervisor untuk melepaskan tanggungjawab atas ketidakberhasilan mereka dalam mengatasi permasalahan yang ada. Sebaliknya pelatihan harus dipandang sebagai sarana pendukung bagi keberhasilan pihak manajemen atau para manager/supervisor dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka. Tanpa adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari pihak manajemen atau para manager/supervisor maka dapat dipastikan bahwa pelatihan hanya akan berjalan sukses di ruang kelas atau tempat pelaksanaan pelatihan saja.

Biaya

Sekecil apapun kegiatan pelatihan pasti membutuhkan dana. Oleh karena itu amat penting untuk menghitung untung rugi dari pelaksanaan suatu pelatihan. Dalam hal ini si perancang program pelatihan harus mengumpulkan berbagai informasi yang menyangkut hal-hal seperti: biaya apa saja yang harus dikeluarkan untuk partisipan maupun trainer, apa keuntungan yang akan diperoleh dari pelatihan tersebut dan berapa lama hal itu bisa dicapai, apakah biaya pelatihan masih sesuai dengan budget yang ada, dsb. Salah satu cara yang cukup populer untuk menghitung untung rugi suatu pelatihan adalah dengan mengukur ROI.

Memilih Metode

Sebelum menentukan metode yang akan digunakan dalam pengumpulan data, maka perlu dipikirkan sumber-sumber data yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan. Sumber-sumber data tersebut diantaranya adalah:
Riset atau survey (critical incidents research, working climate survey, customer service survey, dsb)
Penilaian kinerja (performance appraisal)
Perencanaan karir pegawai
Perubahan prosedur kerja dan perkembangan teknologi
Perencanaan SDM
Jika faktor-faktor yang akan dianalisis sudah diketahui dan sumber-sumber data dapat ditentukan maka perancang program pelatihan dapat memilih beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:

Kuestioner
Obervasi
Wawancara
Focus group
Regular meeting
Mempelajari data perusahaan
Mempelajari uraian jabatan
Membentuk kelompok pakar/penasehat

Dengan memperhatikan hal-hal yang telah saya uraikan diatas, besar harapan saya bahwa program pelatihan yang akan anda susun dapat berlangsung sukses baik dalam pelaksanaannya maupun pada saat para partisipan kembali ke tempat kerja untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang di peroleh ke dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Meskipun mungkin tidak semua faktor diatas harus dianalisis (ada pelatihan tertentu yang tidak perlu menganalisis semua faktor), namun semakin banyak data dan informasi yang bisa dikumpulkan dalam analisis kebutuhan pelatihan maka akan semakin mudah bagi si perancang program pelatihan untuk menggambarkan persyaratan-peryaratan yang diinginkan oleh perusahaan, kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki pegawai, kesenjangan antara pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang ada dengan yang diharapkan dan bagaimana cara terbaik untuk menghilangkan kesenjangan tersebut. Dengan melakukan analisis kebutuhan pelatihan secara sungguh-sungguh maka niscaya program pelatihan yang dirancang akan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Selamat mencoba. Semoga berguna untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para pekerja kita. (jp)

Mengatasi Gap Komunikasi

Mengatasi Gap Komunikasi

Oleh Ubaydillah, AN



Dalam kehidupan sehari-hari, baik di kantor maupun dalam lingkungan keluarga, seringkali dijumpai adanya gap dalam berkomunikasi. Gap tersebut menyebabkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain dan tidak jarang hal ini menimbulkan kerugian di kedua belah pihak. Jika dilihat secara cermat maka pemicu terjadinya kesenjangan komunikasi tersebut seringkali bukan terletak pada persoalan fakta melainkan sebatas citra yang kemudian membedakan pemahaman terhadap rasa. Sebab faktanya, kedua belah pihak (atasan-bawahan, anak-orangtua, suami-istri, dst) saling membutuhkan dan ketika sudah dijelaskan/dipertemukan, semua persoalan atau mayoritasnya bisa saling memahami. Jika anda menyaksikan pihak-pihak yang saling membenci, maka bisa jadi penyebabnya bukan karena mempunyai watak-watak yang menjadi alasan untuk dibenci tetapi karena faktor komunikasi semata.

Karena lebih banyak bisa dikaitkan dengan persoalan bagaimana membentuk citra agar menghasilkan pemahaman rasa yang enak, maka yang dibutuhkan dalam berkomunikasi sebenarnya adalah usaha untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik, terutama sikap, tindakan, dan perasaan. Artinya, bagaimana anda memperlakukan orang lain menjadi cermin dari bagaimana anda memperlakukan diri sendiri dan selanjutnya bagaimana orang lain memperlakukan anda merupakan feedback dari perlakuan anda terhadap mereka. Bagaimana caranya mengubah diri ke arah yang lebih baik? Ada baiknya ada perhatikan tiga hal berikut ini:

Assertive

Secara definitif bisa dijelaskan bahwa sikap assertive merupakan manifestasi dari perbaikan yang serius dalam hal bagaimana anda "memperhitungkan" keberadaan orang lain tanpa sedikitpun mengurangi perhitungan terhadap keberadaan anda dengan cara konstruktif dan fair. Memperhitungkan orang lain artinya mengakui bahwa semua manusia punya hak berbeda dengan kesamaan yang dimiliki, bukan menghakimi perbedaannya.
Di sisi lain, dengan pengakuan tersebut tidak berarti anda kehilangan "standing of points". Karena jika kehilangan, bukan lagi assertive, melainkan permissive atau aggressive. Anda mengatakan YA atau TIDAK dengan alasannya masing-masing. Tetapi jangan lupa bahwa pendirian anda tersebut diungkapkan dengan cara yang polite but firm. Di sinilah keahlian menggunakan ‘bahasa hidup’ menentukan. Oleh karena itu diakui bahwa bagaimana orang menggunkan bahasa menjadi cermin kualitas nalarnya. Menyampaikan gagasan perbaikan kepada atasan tentu berbeda bahasanya dengan menyampaikannya di depan rekan kerja. Sikap assertive akan menempatkan anda pada posisi untuk dihormati, bukan untuk dimanfaatkan. Bedanya sangat tipis.

Empathy

Bagaimana anda menyelami wilayah yang dirasakan oleh orang lain tetapi anda tidak melarutkan diri di dalamnya. Sebagai atasan, dibutuhkan untuk merasakan situasi seperti bagaimana bawahan anda merasakan atau sebaliknya untuk memahami apa yang benar-benar dibutuhkan. Istilah yang lebih memudahkan adalah pengandaian dua arah. Pengandaian ini akan menajamkan sensitivity of feeling. Analogi lain bisa digambarkan bagaimana seorang pengacara yang menjadi pembebas rakyat tertindas. Ia akan menjadi pembebas ketika ia memahami apa yang dirasakan oleh rakyat tertindas itu tetapi segara akan menjadi tertindas jika hanya sekedar merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat yang tertindas. Bedanya sangat tipis.
Dalam berkomunikasi dengan lingkungan, maka yang anda butuhkan adalah memahami apa yang dirasakan oleh mitra anda. Untuk bisa memahami menuntut lebih banyak bisa mendengarkan. Stephen Covey mengistilahkan "seek to understand first". Pada prakteknya, orang lebih memilih untuk lebih dulu dipahami; lebih dulu berbicara tentang dirinya sebelum lebih dulu mendengarkan orang lain; lebih dulu menuntut hak sebelum kewajiban disempurnakan.

Bekerjasama

Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tindakan co-operative (bekerjasama) akhirnya lebih menguntungkan dari pada tindakan konfrontatif ketika konflik menuntut untuk diselesaikan. Jika kenyatannya orang lebih tertarik menyelesaikan urusan komunikasi dengan cara konfrontatif, maka sebagian penyebabnya karena lebih gampang dan lebih singkat selain juga tidak memerlukan kecerdasan dalam kadar tinggi. Dan seringkali cara konfrontatif menjadi penjelasan dari pertarungan egoisme posisi semata bukan untuk menjelaskan jalan menuju realisasi misi, visi, dan tujuan. Padahal yang benar – benar anda butuhkan adalah realisasi dari apa yang anda inginkan bukan egoisme posisi.
Ketika anda berhubungan dengan orang lain dalam bentuk apapun, sadarilah bahwa anda berbeda dan begitu mendapatkan persoalan yang menciptakan perbedaan dalam cara memahami dan menyelesaikan, maka pilihannya hanya dua: anda mempertentangkan perbedaan tersebut karena egoisme posisi; atau anda mengubah perbedaan menjadi kekuatan sinergis dengan menciptakan alternative ketiga: saya, kamu, dan kita yang berarti misi dan visi bersama. Sekian kali lagi, bedanya sangat tipis. Semoga berguna. (jp)

Sistem Manajemen SDM Berbasiskan Kompetensi

Sistem Manajemen SDM Berbasiskan Kompetensi

Oleh: Arbono Lasmahadi**

Jakarta, 12 Desember 2002

Raymond, seorang Manajer Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan asing tampak serius mengamati laporan pemeriksaan psikologis dari staffnya, Susan. Laporan ini dia terima dari sebuah biro konsultasi psikologi terkenal, beberapa bulan yang lalu, sebagai bagian dari proses rekrutmen dan seleksi yang dilakukan terhadap Susan. Ia masih tidak percaya bahwa hasil pemeriksaan psikologis yang sangat baik dari Susan ternyata tidak membuatnya menghasilkan kinerja yang superior seperti yang diramalkan oleh hasil pengukuran psikologis tersebut. Raymond merasa bahwa selama ini ia telah memberikan cukup bimbingan, pelatihan dan fasilitas yang diperlukan oleh Susan agar berhasil dalam pekerjaannya. Namun kinerja yang diharapkannya tidak kunjung muncul dari Susan. Berdasarkan pengalaman tersebut, muncul pertanyaan dalam diri Raymond “Seandainya hasil pemeriksaan psikologis yang memberikan rekomendasi sangat baik tidak mampu memprediksikan keberhasilan kinerja seseorang, lalu metode apakah yang secara efektif dapat meramalkannya ?”

Masalah yang dihadapi oleh Raymond di atas pada dasarnya mirip dengan masalah yang terus-menerus dihadapi oleh United States Information Agency (USIA), saat melakukan proses seleksi calon pegawainya, pada awal tahun 1970-an. Dari kajian yang dilakukan oleh badan tersebut ternyata ditemukan bahwa nilai tinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran psikologis, ternyata tidak memprediksikan keberhasilan dalam pekerjaan. Hal ini yang mendorong David C McClelland, Psikolog, pakar motivasi dan “achivement”, untuk memperkenalkan sebuah pengukuran kepribadian yang dapat mengenali sikap-sikap dan tingkah laku-tingkah laku yang dimiliki oleh orang-orang yang prestasinya sangat baik. (Lucia & Lepsinger, 1999). Pendekatan yang dipakai oleh David C McClelland di atas kelak akan menjadi cikal bakal pengembangan model-model kompetensi.
Pengalaman penulis dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi dengan menggunakan pendekatan konvensional, yaitu dengan menggunakan pengukuran psikologis yang terstandardisasi, menunjukkan bahwa pendekatan ini tidaklah selalu berhasil dengan baik dalam meramalkan keberhasilan calon pekerja pada pekerjaannya kelak. Akibatnya bisa saja calon pekerja yang diramalkan akan berhasil dengan baik dalam pekerjaannya, ternyata belum tentu menampilkan kinerja yang diharapkan ketika sudah diterima menjadi pekerja, seperti kasus Susan di atas. Sedangkan di sisi lain, calon pekerja yang hasil pengukuran psikologisnya biasa-biasa saja, ternyata tidak selalu menjadi seorang “mediocre” alias orang yang prestasinya biasa-biasa saja.
Masalah yang dihadapi Raymond, seperti halnya yang dialami penulis, juga dialami oleh banyak perusahaan. Mereka juga mengalami kesulitan dalam menentukan kapasitas yang dimiliki oleh calon pekerja atau pekerjanya yang sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Perilaku-perilaku yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang superior bervariasi dari satu bisnis ke bisnis lainnya, dari satu peran ke peran lainnya di dalam organisasi. Menghadap kesulitan tersebut, sudah banyak organisasi, khususnya perusahaan-perusahaan berskala besar yang telah mulai menggunakan model-model kompetensi (competency models) untuk membantu mereka mengenali ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik pribadi yang sangat penting, yang dibutuhkan untuk berhasil mencapai kinerja yang superior.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai model-model kompetensi, aplikasinya dan manfaatnya bagi sistem Manajemen Sumber Daya Manusia dan cara pengembangannya di dalam perusahaan, penulis mencoba memaparkannya dalam uraian berikut ini.

Definisi

Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap , pengetahuan, dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi akan mengarahkan tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja itu merupakan kompetensi. Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya untuk mencapai kinerja yang superiorlah yang merupakan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa kompetensi akan selalu terkait dengan kinerja yang superior.
Model kompetensi didefinisikan sebagai suatu rangkaian kompetensi yang penting bagi kinerja yang superior dari sebuah pekerjaan atau sekelompok pekerjaan. Model kompetensi ini memberikan sebuah peta yang membantu seseorang memahami cara terbaik mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau memahami cara mengatasi suatu situasi tertentu (LOMA,s Competency Dictionary, 1998).

Aplikasi

Menurut Kamus Kompetensi LOMA ( 1998) aplikasi dari model kompetensi pada sistem Manajemen Sumber Daya Manusia muncul pada area-area berikut :

Staffing

Strategi-strategi rekrutmen dan tes-tes yang digunakan untuk seleksi didasarkan atas kompetensi-kompetesi kritikal dari pekerjaan

Evaluasi Kinerja

Penilaian kinerja dari pekerja didasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dikaitkan dengan target –target yang penting dari organisasi

Pelatihan

Program-program pelatihan dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki pekerja dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pekerja

Pengembangan

Para pekerja pertama kali diukur untuk mengenali kesenjangan kompetensinya; kemudian mereka dibimbing untuk membuat rencana-rencana pengambangan untuk menutupi kesenjangan yang ada

Reward & Recognition

Para pekerja diberikan kompensasi untuk prestasi-prestasi dan tingkah laku-tingkah laku yang mencerminkan tingkat ketrampilan mereka pada kompetensi-kompetensi kunci.

Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat dari Michael Amstrong dalam Handbook of Human Resources Management Practice (2001) yang mengemukakan bahwa penerapan kompetensi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dilakukan dalam proses rekrutmen dan seleksi, assessment centres, manajemen kinerja, pengembangan SDM, dan manajemen imbal jasa.

Manfaat

Aplikasi dari model-model kompetensi di perusahaan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan sistem Manajemen Sumber Daya Manusia yang ada di dalam perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Lucia dan Lepsinger ( 1999) berikut :

Seleksi

Memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai persyaratan-persayaratan jabatan
Meningkatkan kemungkinan untuk merekrut pekerja yang akan berhasil di dalam pekerjaannya.
Meminimalkan investasi (baik waktu dan uang) pada pekerja yang mungkin tidak memenuhi harapan perusahaan.
Memastikan proses wawancara yang lebih sistematis.
Membantu membedakan kompetensi-kompetensi yang dapat dilatihkan dan kompetensi-kompetensi yang sulit untuk dikembangkan.

Pelatihan dan Pengembangan

Memungkinkan pekerja untuk memusatkan perhatian pada ketrampilan, pengetahuan, dan karakteristik-karakteristik yang mempunyai dampak terbesar terhadap efektifitasnya
Memastikan bahwa kesempatan-kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan berjalan selaras dengan sistem nilai dan strategi-strategi organisasi
Memaksimalkan efektifitas dari waktu dan dana yang digunakan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan
Memberikan sebuah kerangka untuk melakukan proses bimbingan dan pemberian umpan balik yang berkelanjutan

Penilaian Kinerja

Memberikan pemahaman bersama tentang hal-hal yang akan dimonitor dan diukur
Memusatkan perhatian dan mendorong proses diskusi tentang penilaian kinerja
Memusatkan perhatian dalam mendapatkan informasi tentang tingkah laku pekerja dalam pekerjaan

Perencanaan Karir/suksesi

Menjelaskan tentang ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik-karakteristik yang diperlukan oleh suatu pekerjaan/peran
Memberikan metode untuk mengukur kesiapan dari calon pemegang jabatan atas peran yang akan dipegangnya
Memusatkan perhatian dari rencana pelatihan dan pengembangan pada kompetensi-kompetensi yang belum dimiliki oleh calon pemegang jabatan
Memungkinkan organisasi untuk melakukan pembandingan (benchmark) diantara sejumlah karyawan potensial yang prestasinya sangat baik

Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi

Dalam kamus Kompetensi dari LOMA (1998) dipaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan model-model kompetensi. Langkah-langkah tersebut adalah:

1.
Kenali sasaran-sasaran organisasi yang akan menjadi dasar bagi pengembangan model kompetensi


Untuk berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model kompetensi, maka perusahaan harus mempunyai alasan yang dari sisi bisnis memaksa perusahaan untuk menerapkan model ini. Alasan-alasan yang mengarahkan organisasi untuk menerapkan model ini perlu dikenali dengan baik. Dengan demikian ketika model ini diterapkan akan membantu perusahaan dalam mencapai sasaran-sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu :


Definisikan strategi organisasi


Sebuah Model kompetensi akan efektif bila diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum membuat keputusan yang berkaitan dengan pengembangan model kompetensi, maka para perancang model kompetensi harus secara mendalam melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan juga sasaran-sasaran dari perusahaan.


Kenali cara mengaplikasikan model kompetensi


Pada langkah ini, para perancang model kompetensi harus melakukan evaluasi terhadap segala kemungkinan penggunaan model kompetensi di dalam organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan pengembangan. Untuk aplikasi pertama, sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan yang dapat menunjukkan hasil yang cepat.


Tetapkan “ scope” dari model


Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para perancang model kompetensi harus menetapkan cakupan dari pengembangan model kompetensi di dalam organisasi. Beberapa organisasi mengembangkan “Core Competency Model” berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan kemudian menambahkan “Job Specific Competencies” pada sekelompok kecil pekerjaan

2.
Merancang Rencana Untuk Membuat Model


Pada tahap ini, para perancang model kompetensi akan mengambil langkah-langkah awal untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang akan dimasukkan dalam model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:


Menentukan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses pengembangan model


Melibatkan orang-orang yang tepat dalam mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada umumnya orang-orang yang membantu pengembangan model adalah mereka-mereka yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi dengan sukses. Pertimbangkanlah untuk melibatkan pihak-pihak berikut ini dalam proses pengembangan model kompetensi di perusahaan: pimpinan puncak perusahaan, para manajer yang terkait , para pemegang jabatan yang mempunyai prestasi yang sangat baik, staf Departemen SDM, dan ahli-ahli kompetensi.


Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali kompetensi-kompetensi kritikal


Ada beberapa pendekatan atau metode yang dapat dipakai untuk mengenali Core Competencies atau Job Specific Competencies.
Untuk mengenali core competencies, metode yang paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan. Dalam pertemuan ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran tersebut.
Untuk mengenali job specific competencies, dapat digunakan beberapa metode seperti : Focus Group Discussion dan survey dengan para job expert atau Behavioral Event Interview dengan para pemegang jababan , baik yang prestasinya sedang-sedang saja, maupun yang prestasinya superior.

3.
Melakukan Pengumpulan Data


Setelah menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan model kompetensi, sumber data atau informasi dan metode pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para perancang model kompetensi adalah mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan Core Competencies (kompetensi inti) dan Job Specific Competencies (kompetensi khusus untuk pekerjaan tertentu). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan adalah sebagai berikut :


Mengidentifikasi Core Competencies bersama para pimpinan puncak perusahaan


Sebelum memulai pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan (atau orang-orang yang mereka nominasikan), sebaiknya para perancang model kompetensi memberikan informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini:
Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan puncak perusahaan dalam mengenali Core Competencies, cara pengenalan job specific competencies oleh job expert, dan kaitan penggunaan Job Specific Competencies dan Core Competencies.
Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan yang harus memiliki core competencies (mis : semua pekerjaan di bawah level manajemen) dan cara aplikasi model kompetensi (mis : pengembangan karir, pelatihan, dsb-nya).
Kaitan antara Core Competencies dan tantangan-tantangan , misi, dan sasaran-sasaran organisasi
Konsensus tentang rangkaian Core Competencies yang akan diaplikasikan di perusahaan dan dukungan yang diperlukan untuk menerapkannya.


Kenali Job Specific Competencies melalui job expert


Focus Group Discussion (FGD). Dalam proses ini data atau informasi yang luas mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahan-tambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.
Survey. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, sebuah survey dapat dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah besar job expert. Isi dari survey adalah kompetensi-komptensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil dari survey kemudian disimpulkan dan dianggap sebagai persepsi dari para pekerja tentang kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan bagi pekerjaan yang sedang dinilai.
Behavioral Event Interview (BEI). Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai prestasi kerja rata-rata dan superior. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cara mereka menangani situasi-situasi kritis di dalam pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi dapat memperoleh interviewer yang terlatih.

4.
Menganalisis Data dan Membuat Kesimpulan


Untuk melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari survey, maka para perancang model kompetensi perlu melakukan langkah-langkah berikut ini:


Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi dari yang paling tinggi hingga paling rendah


Buatlah kesimpulan dari hasil analisis tersebut di atas, dalam sebuah format yang dapat dipresentasikan kepada para job expert, sebagai bahan kajian dan diskusi. Pastikan bahwa dalam kesimpulan tercakup hal-hal berikut:


Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi mulai dari yang paling tinggi hingga paling rendah

5.
Mendiskusikan dan Memfinalisasikan Model Kompetensi


Pada tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:


Presentasi


Presentasikan hasil survey kepada para pengambil keputusan penting di dalam organisasi. Para pengambil keputusan penting ini adalah meliputi orang-orang yang tersebut di bawah ini :
Para pimpinan puncak perusahaan
Manajer dan staf departemen SDM yang akan mengaplikasikan model kompetensi ini
Para manajer yang akan menjadi pengguna model kompetensi ini


Mencapai kesepakatan atas bentuk model


Sasaran dari proses ini adalah untuk mencapai konsensus mengenai sebuah model bersama yang aplikatif dan didukung oleh setiap orang. Semua perbedaan substansial yang muncul harus didiskusikan secara mendalam dan diselesaikan, bila semuanya memungkinkan.


Membatasi jumlah kompetensi bagi setiap model


Untuk setiap model jumlah kompetensi yang sebaiknya ada adalah antara 8-10 kompetensi. Besar-kecilnya jumlah akan tergantung juga pada kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan, umumnya memerlukan kompetensi yang lebih banyak. (LIHAT CONTOH)

Kesimpulan

Penerapan model-model kompetensi dalam sistem Manajemen Sumber Daya Manusia saat ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat lagi dihindari oleh organisasi. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa dengan penerapan model-model kompetensi ini akan dapat memberikan nilai tambah yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa aplikasi model-model ini.
Agar penerapan model-model kompetensi di dalam organisasi dapat memberikan nilai kompetitif, maka dalam proses pengembangannya harus direncanakan dengan baik dan harus selaras dengan misi, strategi, tantangan-tantangan, maupun sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi. Selain itu demi menjaga agar penerapan model-model kompetensi dapat berjalan secara efektif, maka sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan dapat menunjukkan hasil yang cepat. Selamat mencoba dan semoga berguna untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan tenaga SDM kita. (jp)


Penjelasan Istilah:

Core Competencies:

Aspek-aspek unik yang harus dimiliki oleh para pekerja di dalam organisasi agar organisasi mempunyai nilai kompetitif

Job Specific Competencies:

Aspek-aspek unik yang harus dimiliki oleh para pekerja untuk dapat menghasilkan kinerja yang superior pada pekerjaan atau kelompok pekerjaan tertentu


**Penulis adalah alumnus Program Magister Psikologi Terapan – Studi Sumber Daya Manusia, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saat ini penulis juga merupakan Kepala Departemen SDM di sebuah perusahaan Multi Nasional Asing.

Ada 4 kuadran kompetensi manusia


Penjelasan, untuk menghadapi orang yang:


1. Kompetensi rendah, dan motivasi rendahKamu harus bersikap sebagai trainer/coach, di sini adalah peran kamu sebagai leader untuk memberikan dia penjelasan bahkan sampai ke teknis dan bimbingan secara spirit. Memang kudu rada kerja keras untuk anak tim yang seperti ini.


2. Kompetensi tinggi, tetapi motivasi rendahKamu harus bersikap sebagai motivator, di sini penekanan untuk bimbingan secara teknis tidak perlu dilakuan terlalu dalam. Namun penekanan kamu adalah untuk memotivasi mereka dan membangkitkan inisatif. Hati-hati menghadapi orang seperti ini, terkadang mereka merasa direndahkan apabila kita terlalu mengajari hal teknis. Cuman orang seperti ini kurang inisatif dan motivasi. Butuh kontrol yang cukup tinggi.


3. Motivasi tinggi, tetapi kompetensi rendahBimbinglah dia sebagai tentor dan controller Nah di sini tidak perlu khawatir ttg motivasi diri dia, tinggal diajari masalah teknis dan diberi sedikit kepercayaan maka orang2 seperti ini bisa jalan, selain itu kemauan belajarnya lebih bisa diandalkan. Tinggal dikontrol aja.


4. Motivasi tinggi dan kompetensi tinggiEnak banget kalo dapet anggota tim yang semuanya kayak begini, tugas kamu adalah sebagai delegator dan ditambah sedikit kontrol. Berikan kepercayaan yang lebih pada orang2 seperti ini, percayalah tugas2 akan beres di tangan mereka. Selain kompetensi tinggi, merka juga punya daya juang dan inisiatif yang tinggi. Tugas kamu adalah mendelegasikan job saja.

STANDAR KOMPETENSI PELATIHAN

STANDAR KOMPETENSI PELATIHAN
( Mengapa dan Bagaimana )

Oleh:
Drs. Pardamean Simanjuntak, M.Si(Kabid. Pelatihan dan Penempatan, Pusdatinaker, Balitfo)
(bagian kedua)

Untuk Tingkat Industri dan Perusahaan:
• Pengidentifikasian yang lebih baik mengenai keterampilan yang dibutuhkan
• Pemahaman yang lebih baik mengenai hasil pelatihan
• Berkurangnya pengulangan dalam usaha pengadaan pelatihan
• Peningkatan dalam perekrutan tenaga baru
• Penilaian hasil pelatihan yang lebih konsisten dan dapat diandalkan.
• Pengidentifikasian kompetensi di tempat kerja yang lebih akurat.

d. Bentuk Standar Kompetensi
Standar kompetensi mencakup persyaratan kunci pelaksanaan tugas di tempat kerja dan terdiri atas empat komponen:
Elemen yang menggambar-kan garis besar aktivitas-aktivitas terpenting yang akan dilaksanakan
Kriteria pelaksanaan tugas yang merinci hal-hal yang harus dilakukan untuk menunjukkan kemampuan seseorang
Beberapa variabel yang dapat menggambarkan relevansi konteks dan kondisi pada suatu unit
Penentuan bukti yang memberikan gambaran bagaimana kompetensi akan diakui.

e. Sertifikat Kompetensi
Sertifikat kompetensi adalah pengakuan formal bahwa seseorang telah memperoleh kompetensi dalam suatu bidang tertentu, artinya:
Orang itu harus dapat mendemonstrasikan pelaksanaan pekerjaan yang disyaratkan di tempat kerja
Orang ini mungkin saja telah beberapa lama mengembang-kan dan melatih keterampilan-nya di tempat kerja
Orang itu akan dinilai berdasarkan kompetensi.

III. Usaha Mewujudkan Standar Kompetensi

a. Undang-undang Standar Kompetensi
Pelatihan standar kompetensi perlu dibuat undang-undangnya, agar lembaga dan individu mengacu terhadap undang-undang tersebut. Pengaturan ini bukan berarti untuk menghambat pelaksanaan kompeten-si, tetapi menjadi motivator penerapan standar kompetensi.
Dalam undang-undang ini perlu diatur penyelenggara, tata cara penyelenggaraan, penilaian penye-lenggaraan dan sangsi yang harus diberikan apabila tidak mengacu kepada undang-undang tersebut.

b. Penilaian Lembaga Pelatihan
Untuk menghasil-kan siswa atau peserta pelatihan yang kompeten, maka lembaga penye-lenggara pelatihan haruslah mempunyai nilai kompetensi yang tinggi. Dalam hal ini lembaga pelatihan harus memper-siapkan dan mempunyai peralatan-peralatan dan bahan-bahan pelatihan yang sesuai dengan tuntutan industri atau lapangan pekerjaan. Instruktur yang memberikan pelatihanpun harus yang mempunyai kompetensi dalam bidang atau jurusannya masing-masing, sehingga mampu memberi-kan pengajaran dan pelatihan yang baik terhadap para peserta pelatihan.

c. Penilaian Peserta Pelatihan
Peserta pelatihan yang akan dilatih harus ditest atau di uji kemampuan-nya. Pengujian ini dilakukan terhadap hasil pendidikan yang didapat dari sekolah umum atau kejuruan. Berdasarkan test ini akan diketahui pada tingkat pelatihan tersebut. Kemampuan akademis dan teknis calon peserta pelatihan sangat penting diketahui agar pelaksanaan pelatihan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

d. Kurikulum Pelatihan
Kurikulum pelatihan harus dirancang dan mengacu kepada lapangan pekerjaan. Untuk itulah perancangan kurikulum pelatihan ini perlu didasarkan dengan penelitian atau survei pekerjaan. Perancangan kurikulum sangat ditentukan oleh persyaratan jabatan yang ditentukan oleh suatu industri atau sektor.
Kurikulum pelatihan juga perlu dirancang dengan bentuk class room , praktek dan magang. Hal ini sangat penting untuk lebih mengarahkan terhadap link and mach antara pelatihan dengan lapangan pekerjaan.

e. Pengujian Kompetensi
Seorang siswa atau peserta pelatihan akan ditest. Apabila lulus. Tanda lulus akan ditunjukkan dengan pemberian sertifikat pelatihan atau sertifikat kompetensi.
Sertifikat kompetensi inilah yang menunjukkan kompetensi yang dimiliki oleh seorang siswa atau peserta pelatihan dan sekaligus menunjukkan sertifikat tersebut dalam lingkup internasional, nasional, regional atau standard umum (hanya kegiatan yang bersifat industri rumah tangga atau home industri )

f. Pembentukan Dewan Kompetensi Pelatihan
Pembentukan dewan kompetensi palatihan adalah bersifat jangka panjang perwujudannya. Diharapkan dengan ini bersifat independen untuk menentukan garis-garis besar kompetensi nasional dan internasional.
Dewan yang akan dibentuk anggotanya terdiri atas para penyelenggara pelatihan, profesi dan pengusaha. Dewan inilah yang memberikan masukan dan perkembangan jabatan sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan teknologi. (bersambung)